Degradasi lingkungan di Indonesia sebagai akibat dari pembangunan yang
tidak berkelanjutan merupakan driving force untuk mencari instrumen
alternatif perlindungan lingkungan yang
lebih baik. Jika pada beberapa dekade regulasi lingkungan Indonesia
lebih condong kepada instrumen command and control, maka kini terjadi
perubahan dengan ditetapkannya Undang-Undang perlindungan lingkungan yang baru
No 32/2009, dimana instrumen ekonomi diperkenalkan sebagai bagian dari
instrumen pengelolaan lingkungan di Indonesia. Instrumen ini dianggap memiliki
beberapa kelebihan dalam hal
memberikan sinyal yang tepat
untuk perlindungan lingkungan. Instrumen ekonomi lingkungan diperlukan, karena
dalam ekonomi pasar ketika barang dan jasa ekosistem dinilai dengan tidak
tepat, maka akan terjadi overkonsumsi dan degradasi lingkungan. Penerapan
instrumen ekonomi berdampak kepada konsumsi eko-efisien dan pola produksi.
Instrumen ekonomi untuk pengelolaan lingkungan merupakan pendekatan kebijakan
yang lebih mendorong perubahan perilaku melalui sinyal pasar, daripada melalui instruksi
langsung seperti metode command and
control. Instrumen ekonomi yang dirancang dan diimplementasikan dengan
benar dapat menciptakan
insentif dalam meminimalkan
penggunaan sumber daya, degradasi
sumber daya dan lingkungan, polusi dan limbah, dan juga juga mempromosikan pendekatan
kreatif untuk memanfaatkan
sinergi antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
Di antara instrumen-instrumen yang diamanatkan dalam UU Lingkungan No.
32/2009, instrumen Payment
for Ecosystem Services (PES) merupakan salah satu instrumen yang secara luas
telah diterapkan dalam berbagai macam jenis dan level. Inisiatif PES di
Indonesia, meliputi berbagai jenis jasa lingkungan seperti pariwisata
(keindahan pemandangan alam), keanekaragaman hayati, perlindungan daerah aliran
sungai, dan lain-lain. Skema pelaksanaan
PES di Indonesia juga dilakukan dengan banyak cara, termasuk mekanisme penyedia-pengguna
antara Pemerintah kepada Pemerintah (G to G), Masyarakat kepada Masyarakat (C
to C), Pemerintah kepada Masyarakat (G to C), dan Swasta kepada Masyarakat (P to
C). Meskipun banyak kesenjangan dan masalah dalam implementasi PES, seperti
masih persistensinya penerapan PES, namun permintaan untuk pengembangan PES
relatif tinggi, terutama pada tingkat pemerintahan daerah. Beberapa pemerintah daerah
percaya bahwa PES tidak hanya berperan sebagai instrumen untuk perlindungan
lingkungan, akan tetapi juga sebagai alat pengentasan kemiskinan. Selain itu,
beberapa pemerintah daerah menganggap bahwa PES bisa menjadi sumber pendapatan
pemerintah untuk membiayai program-program pemerintah dalam mengkonservasi dan
merehabilitasi lingkungan.
Berdasarkan hasil survey, investigasi dan diskusi dengan beberapa
stakeholder, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tidak ada satupun inisiatif
PES di Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai PES murni seperti yang
didefinisikan oleh beberapa referensi (Wunder,
2005; Pagiola et al, 2005; Syngenta (2011)). Meskipun literatur tidak
mendefinisikan PES secara formal, Wunder
(2005) misalnya menggambarkan lima kriteria yang relatif sederhana untuk
PES prinsip, yaitu: 1) transaksi sukarela, 2) jasa lingkungan yang
terdefinisikan dengan baik untuk ditransaksikan, 3) minimal ada satu pembeli, 4) dengan
minimal satu penyedia, 5) jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan mengamankan
provisi jasa lingkungan (conditionality).
Syngenta (2011) mendefinisikan PES
sebagai pendekatan yang berbasis kepada pasar untuk konservasi dengan
berdasarkan prinsip, bahwa mereka yang memperoleh manfaat dari jasa lingkungan
(seperti pengguna air bersih) harus membayar jasa tersebut, dan mereka yang
menghasilkan jasa tersebut harus dikompensasi karena telah menyediakan jasa tersebut.
Dalam mekanisme PES, penyedia jasa lingkungan dibayar sesuai dengan
penyediaan kondisi jasa lingkungan yang diinginkan (atau menyediakan berbagai
cara dan pemikiran untuk menyediakan jasa tersebut). Partisipasi yang dilakukan
adalah sukarela. Ciri dari partisipasi yang bersifat sukarela di dalam PES juga
disebutkan oleh Pagiola (2006), yaitu
dengan penambahan pembayaran kondisional. PES Indonesia di masa depan harus
dikembangkan sesuai dengan karakteristik budaya, sumber daya dan kondisi jasa
lingkungan, kondisi politik ekonomi, dan terakhir kondisi kelembagaan yang ada.
Berikut adalah faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan untuk penerapan PES
Indonesia di masa mendatang. Setidaknya ada 3 (tiga) faktor utama yang
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan PES, yaitu sebagai berikut:
a. Persiapan untuk
implementasi, desain, dan pencapaian target
program PES harus sejalan dengan tujuan program. Oleh karena itu, tahap
persiapan dari pelaksanaan program merupakan salah satu kunci keberhasilan,
karena detail rencana inovasi, efektivitas biaya, pilihan alternatif untuk
mencapai target, dan solusi alternatif dicantumkan bila ada hambatan selama
implementasi.
b. Pencapaian target dari
kolaborasi yang dikembangkan dengan benar berdasarkan analisis yang tepat akan
mendorong pelaksanaan program yang fokus untuk mencapai hasil, yaitu:
- Wilayah yang menjadi tujuan pelestarian,
- Meningkatkan akses bagi masyarakat adat dan
masyarakat lokal untuk terlibat dalam pelaksanaan kerjasama,
- Memfasilitasi bentuk kolaborasi konservasi yang
akan berkembang di masa mendatang.
c. Aspek sosial juga merupakan salah satu dasar bagi kerjasama PES. Meskipun
penanggulangan kemiskinan bukan target utama dalam mekanisme PES, keterlibatan
masyarakat lokal akan memberikan dampak positif bagi pengembangan kapasitas
ekonomi lokal dengan meningkatkan pendapatan masyarakat miskin. Oleh karena itu,
selama tahap persiapan implementasi kerjasama, PES harus dilengkapi dengan
studi mengenai aspek-aspek sosial terutama untuk mencakup pengembangan data
mengenai kelompok masyarakat adat serta kelompok miskin yang tidak memiliki
status kepemilikan di lahan mereka tinggal . Dengan melakukan hal ini, jalan
keluar dapat ditemukan dalam rangka untuk memiliki status kepemilikan lahan
yang jelas bagi mereka dan mereka dapat dimasukkan dalam program PES. Namun, karena
status kepemilikan tanah adalah masalah yang sangat penting, oleh karenanya
intervensi pemerintah untuk mengatur status tanah sangat diperlukan.
Pelaksanaan monitoring dan kontrol kinerja dari kerjasama dapat secara
benar dievaluasi dan tidak bias kepentingan. Melalui pemantauan dan evaluasi feedback untuk meningkatkan pelaksanaan kerjasama
dapat dikembangkan persyaratan pendukung seperti regulasi dan dukungan pendanaan.
Setelah proses ini, tahapan pencapaian target kerjasama melalui mekanisme PES dapat
dipetakan, sehingga perbaikan dari strategi dapat dibuat dan kinerja target
bisa tercapai.
Sumber :
Lap
C/April 2011,
LAPORAN PROSES PENGEMBANGAN MEKANISME PES_ LPM EQUATOR
LAPORAN PROSES PENGEMBANGAN MEKANISME PES_ LPM EQUATOR